“Mau coba?” dia menyodorkan sebatang
rokok yang sudah tersulut padaku.
Aku menggeleng cepat, “Enggak ah.”
“Dikit aja, ayo!” paksanya padaku.
Aku mengambil rokok itu, mencoba
menghisapnya.
Aku terbatuk, “Udah ah! Apa enaknya
coba?” kataku sambil meletakkan rokok itu di asbak yang tergeletak di depanku.
Dia tergelak.
“Eh, udah malem ni, anterin pulang
yuk!” ajak ku kemudian.
Dia tak menjawab, hanya mengangguk
kecil.
***
“Anna gak sarapan dulu?!” tanya Mama
setengah berteriak.
Aku tak menyahut dan meneruskan
langkah menghampiri dia yang sedari tadi telah menunggu di depan gang. Dari
jauh tampak ia tersenyum.
“Pagi-pagi kok udah cemberut gitu?
Kenapa?” tanyanya beruntut saat melihat wajahku yang tertekuk.
“Nenek.” Jawabku pendek sambil mengenakan
helm.
“Nenek kamu? Kenapa?” tanyanya
penasaran.
“Udah nanti aja di kelas ceritanya.
Yuk berangkat nanti telat lagi,” ajakku kemudian.
Semenjak aku putus dengan Berta, dia
yang selalu menemaniku dan membantu aku agar bisa move on dari Berta. Dia
berhasil merubah mind set pikiranku yang menganggap bahwa tak ada orang lagi
yang sebaik Berta. Dia juga selalu bisa mengalihkan pikiranku saat aku merasa
kangen atau kehilangan akan kepergian Berta. Dia bisa meyakinkanku bahwa
semuanya akan tetap baik-baik saja selepas Berta enyah dari kehidupanku.
Aku nyaman berteman dengannya.
Setidaknya aku jadi punya teman untuk curhat, jadi punya teman untuk
jalan-jalan ke Mall sekedar menghilangkan jenuh dan jadi punya teman untuk
belajar bersama. Salah ku memang, dulu waktu pacaran dengan Berta, aku terlalu
dekat dengannya, hampir semua waktu ku habiskan bersamanya dan mengabaikan
semua teman-teman yang lain. Tak heran begitu putus dengan Berta, aku jadi
merasa benar-benar sendiri dan tak punya teman. Sampai akhirnya dia datang.
***
“Jadi Nenek kamu kenapa?” tanyanya
begitu sampai di kelas.
“Gak papa,” sahutku.
“Bohong,” ia memincingkan sebelah
matanya, menatapku tajam.
Aku menghela nafas panjang, “
Belakangan ini Nenek jadi super protektif. Setiap aku mau pergi Nenek jadi suka
nanya-nanya, mau kemana, sama siapa, pulangnya jam berapa, bla bla bla.”
“Lho wajar dong, tandanya Nenek kamu
perhatian, kenapa malah gak suka gitu?” tanyanya.
“Risih aja, dulu Nenek gak pernah
nanya-nanya gini setiap kali aku mau pergi sama Berta. Tapi sekarang? semalam
aja aku di introgasi habis-habisan pas pulang dari rumah kamu. Padahal itu
masih jam 9 kurang.” Jelasku lagi.
Dia terdiam tak menyahut, “Eh, baju
yang kita beli kemarin di Mall gimana? Muat?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Kegedean dikit, tapi gak papalah
biar bisa di pake lama, lagian kayaknya badan aku ini juga mau memebesar,”
jawabku sambil tertawa.
Dia ikut tertawa, “Kebanyakan makan
coklat sih,”
Dan obrolan kita pun memanjang,
membahas kejadian-kejadian lucu waktu di Mall kemarin. Saat itu Berta melintas
di depanku. Tatapannya aneh. Dia bergidig melihat aku dan temanku ini. Aku
tersudut. Tatapan Berta seolah menghinaku. Ada apa ini?
“Udah biarin aja,” ujarnya saat
melihat perubahan sikapku setelah melihat Berta.
Gak biasanya Berta memandangku
seperti itu. Bahkan sehari setelah putuspun Berta masih bersikap biasa.
Obrolan kita terhenti saat Guru
memasuki ruangan.
***
“Hei kamu! Pergi dari rumahku!
Jangan dekat-dekat dengan cucu ku lagi! Aku nggak sudi cucuku berteman dengan
orang seperti kamu,pergi!!!” Nenek histeris saat melihatku tetap nekad
mengajaknya rmain ke rumah setelah Nenek melarangnya keras semalam.
Aku tercengang kaget. Tak ku sangka
Nenek sampai berteriak-teriak histeris seperti ini. Abang keluar dari rumah
menenagkan Nenek dan aku menyuruhnya pulang, tentu setelah meminta maaf atas
perlakuan Nenekku tadi.
Abang mendekatiku yang masih
terduduk shock di luar rumah.
“Ternyata Nenek mempunyai Felling
yang sama dengan abang.” Ujarnya pelan.
“Feeling? Feeling apa?” aku heran.
“Feeling yang gak enak tentang teman
mu itu. Kamu udah lama kenal dia?” tanyanya mengintrogasiku.
Aku coba mengingat ulang, “Kalo
kenal sih udah lama, tapi baru belakangan ini kita dekat. Semenjak aku putus
dengan Berta.” Jelasku kemudian.
“Kamu gak merasa aneh sama
sikapnya?” abnag menatapku tajam.
“Nggak, biasa aja kok. Emang kenapa
sih? Dia orangnya baik tau,” timpalku membelanya.
“Sebaiknya kamu jaga jarak sama dia,
perasaan Abang gak enak.” Ucapnya misterius, kemudian berlalu meninggalkanku
yang masih bingung dan tak mengerti dengan semuannya.
***
Aku termenung di dalam kamar. Kian
hari semakin banyak hal yang tak ku menegrti. Tentang sikap Nenek, sikap Berta,
ucapan Abang. Perubahan sikap Berta seolah menunjukkan rasa tidak suka akan
kedekatanku dengan temanku itu, dan nasehat Abang yang memintaku untuk jaga
jarak dan menjauhi tamanku seolah memperkuat sangkaan kalau ada sesuatu yang
tidak beres dengan temanku itu. Tapi apa???
Dia memang sedikit berbeda dengan
kebanyakan teman ku lainnya. Dia suka merokok. Satu hal yang tidak wajar untuk
dilakukan olehnya. Dia juga sempat memintaku untuk mencoba merokok, tapi begitu
tau kalau aku tidak suka dan tidak biasa merokok dia berhenti memintaku dan tak
pernah memaksaku lagi setelah itu.
“Ssst sstt Anna..” panggil sebuah
suara pelan, sangat pelan. Aku terkaget. Suaranya berasal dari luar jendela.
Aku ragu saat hendak mengahmpiri
asal suara itu. Siapa? Malam-malam begini menyelundup masuk ke rumah orang.
“Anna, ini aku,” lanjut suara itu.
Sepertinya aku kenal suara itu,
“Kamu?” tanyaku terhenti.
“Iya, ini aku. Bukain dong..”
pintanya.
Segera ku bukakan jendela.
Ayo masuk!” Aku mempersilahkan.
Dia mengangkat kakinya mencoba
melewati jendela kamarku ini yang cukup tinggi, langkahnya hati-hati sekali
hingga tak menimbulkan suara berisik sedikitpun.
“Ngapain tengah malam gini kesini?”
Aku menatapnya aneh.
“Tadi siangkan gak jadi main ke sini
gara-gara Nenek kamu marah. Makanya aku kesini sekarang. Cuma mau ngasihin
ini..” dia menyodorkan sebuah kotak kecil yang terbalut rapih oleh sampul kado.
“Apa ini?” Aku semakin heran.
Perasaanku mulai tak enak.
“Buka aja,”
Aku tak langsung membukanya, ku
pandang lama bungkus kado itu. Ingatanku flashback mundur beberapa jam saat aku
berbicara dengan abang tadi, aku terngiang-ngiang ucapannya, “Sebaiknya kamu
jaga jarak, persaan abang gak enak.” Dan sekarang aku merasakannya. Iya,
perasaanku jadi tak enak.
“Hey, kok malah ngelamun?” tegurnya.
Aku tersadar, “Tunggu. Maksud kamu
ngasih ini ke aku apa?”
Dia diam. Lama. Aku mulai tak nyaman
dengan keadaan ini. Aku bergidig pelan.
“Jangan bilang kalau kamu..” tebakku
terpotong. Enggan rasanya meneruskan kata-kata
ini.
“Iya na, aku suka kamu.” Jujurnya
padaku lirih.
Deg! aku terhenyak. Ungkapannya tadi
menjawab semua rasa penasaranku selama ini. Jadi ini alasan kenapa Nenek gak
suka aku berteman dengannya. Kuat sekali Feeling Nenek, baru bertemu dua kali
saja sudah tau kalau ternyata dia ini ‘berbeda’. Pantas Abang memintaku jaga
jarak dengannya.
“Oke cukup, ini kado kamu. Sekarang
juga kamu boleh pulang!” usir ku gerang.
“Anna, maafin aku ya,” pintanya
memohon.
“Aku pikir kamu tulus bersahabat
sama aku Git, ternyata ini maksud kamu. Maaf aku masih waras. Sekali lagi aku
minta kamu pergi sekarang juga!!” Kali ini emosi ku benar-benar tak tertahan.
Dia pergi dari kamarku. Dan ku harap
dia juga benar-benar pergi dari kehidupanku setelah ini. Entah harus sedih
karna kehilangan sahabat dekat atau justru bersyukur karna akhirnya dia jujur
membuka sisi gelapnya padaku, yang pasti aku jadi lega setidaknya aku
mengetahui ini semua langsung darinya.
0 komentar:
Posting Komentar