Sore
itu sepulang sekolah Rahma langsung bergegas pergi ke gudang. Mengambil
sekaleng cat dan kuas, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Ia masih
mengenakan baju olahraga, jilbabnya yang agak berantakan dibiarkan
melambai-lamabai dimainkan angin nakal. Siapapun yang melihatnya akan bergumam
dalam hati, “Gadis tomboy.”
Ia berdiri bertolak pinggang di
depan pagar tembok depan rumahnya. Tutup ember cat sudah dibuka, tak lama ia
memulai pekerjaannya. Tembok pagar depan rumahnya yang sudah kusam itu ia cat
perlahan-lahan. Tembok itu kusam bukan saja karna debu tapi juga karna ada
beberapa grafitian disana.
Entah sudah berapa kali tembok itu
di cat. Dan kalau tembok itu kembali bersih, grafitian itu pun akan dengan
cepat kembali hinggap di pagarnya itu. Rahma amat kesal dibuatnya.
Baru setengah pekerjaan selesai, ia
memutuskan untuk istirahat. Meneguk minuman dingin yang dibawanya tadi sambil
memperhatikan tembok yang sudah di cat.
Lagaknya
seperti seniman besar saja yang begitu larut dalam pekerjaan, sampai-sampai dia
tidak menyadari kalau ada seorang lelaki yang sedari tadi memperhatikannya.
“Lagi
ngapain, Ma?” pertanyaan basa-basi itu mengagetkan Rahma. Gadis kelas satu SMU
itu menoleh kebelakang.
“Eh, Ipan. Ngagetin aja,” Rahma
tersenyum kepada cowok yang kini ada dihadapannya itu. “Ini lagi ngecat pagar,
ngbersihin grafitian. Padahal baru saja dua bulan lalu di bersihin, eh ada lagi
ada lagi.
Ipan tersenyum, “Rajin amat,”
katanya. “Sekaarang dibersihin paling besok udah ada lagi tuh grafitian.”
Rahma Cuma mendengarkan kata-kata
Ipan, meskipun hatinya membenarkan. Susah memang. Remaja sekarang berkreasinya
suka salah kaprah. Ini akibat kemajuan zaman atau tren trennya orang luar yang
sering kita tiru tanpa menyaringnya terlebih dahaulu? Entahlah. Yang jelas
grafitian bagi remaja sudah membudaya. Acara lulusan sekolahpun sepertinya
tidak berkesan tanpa acara grafitian.
“Aku punya usul nih, Ma,” kata Ipan
sambil memperhatikan separuh pagar yang sudah di cat Rahma. “Bagaimana kalau
sehabis kamu mengecat tembok pagar rumah kamu ini, kamu undang beberapa remaja
yang suka grafitian, lalu kamu suruh remaja-remaja itu bikin grafitian di
tembok pagar rumah kamu ini. Dengan syarat , grafitiannya harus rapih dan punya
nilai seni. Aku jamin, tembok pagar rumah kamu ini pasti bakalan lebih keren
daripada rumah-rumah yang ada di komplek ini.”
“Ide gile,” sambut Rahma. “Tapi
boleh juga sih,” lanjutnya sambil garuk-garuk kepala. “Tapi bagaimana kalau
untuk percobaan dimulai dari rumahmu.” Lanjut Rahma terkekeh.
Ipan cuma nyengir kuda. Tapi hatinya
tertawa. “Nanti deh, aku tanya nyokap dulu.” Katanya setelah itu.
Rahma Cuma senyum-senyum. Gadis itu
lalu meneruskan pekerjaannya. Bagai pelukis sedang menggarap lukisannya, bagai
pengarang yang sedang merangkai kata-kata. Gadis itu begitu menikmati
pekerjaaanya.
Ipan yang memperhatikan Rahma
bekerja, cuma geleng-geleng kepala. Ada rasa kagum di dalam hatinya melihat
semangat gadis itu. Setelah lama juga memperhatikan Rahma bekerja, Ipan mohon
pamit dan berlalu. Paling juga dia mau main kerumah temannya, atau jalan-jalan
ke mall.
Rahma tidak peduli dengan hal yang
begituan. Meskipun itu kebanyakan aktivitas remaja seusianya. Jalan-jalan di
mall bagi Rahma hanya mebuang-buang waktu saja. Lebih baik mengerjakan hal lain
yang berarti,pikirnya. Tadi pagi pun, Mamanya mengajak Rahma ke sogo untuk
melihat Anisa, kakaknya, lomba fashion. Tapi Rahma menolak. Ia lebih memilih di
rumah. Mengecat tembok pagar depan yang sudah kusam lagi karna debu dan
grafitian.
Maksud Mamanya mengajak Rahma melihat
lomba fashion, untuk mengajari Rahma secara tidak langsung, bahwa wanita itu
harus feminim. Karna meskipun Rahma berjilbab, tapi tomboynya seperti sudah
bawaan. Dan ia tidak suka dengan acara-acara seperti itu. Ia menempa
keberadaanya apa adanya. Yang penting tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.
Waktu masih sekolah dasar, kedua
orang tuanya Rahma begitu khawatir dengan pertumbuhan Rahma. Karna gadis itu
tidak menyukai permainan cewek atau hal-hal lainnya yang seharusnya dikerjakan
para perempuan. Ia cenderung kelaki-lakian, maka, didaftarkanlah ia ke sebuah
sanggar seni tari. Saat mendaftar sih memang ke sanggar seni, tapi tiga bulan
kemudian, ketika akan ujian, betapa kagetnya kedua orang tua Rahma kalau
ternyata Rahma bukan hendak ujian seni tari, melainkan ujian karate!
Orang tuanya cuma geleng-geleng
kepala. Akhirnya Rahma dibiarkan saja. Ia aktif di pramuka dan paskibra.
Menginjak masa SMU ini hobinya camping, naik gunung dan panjat tebing. Anisa,
kakaknya, pernah bertanya tentang hal itu semua.
“Apa sih enaknya camping, naik
gunung atau panjat tebing,Ma?”
Mendengar pertanyaan kakaknya, Rahma
Cuma tersenyum. “Yah seperti kamu menggeluti dunia fashion. Apa enaknya sih
berlenggak-lenggok di atas papan catwalk?” begitu jawab Rahma.
Di kik balik begitu, Anisa tidak
bisa menjawab apa-apa. Setiap orang memang punya hobbi dan dunianya
masing-masing, pikir Anisa.
Bila melihat remaja-remaja tomboy
seperti Rahma, sebagian besar orang-orang pasti befikiran negatif. Karna
kebanyakan remaja seperti Rahma terlihat cuek, sehingga orang berfikir remaja
seperti itu pasti tidak benar pergaulannya. Orang tua Rahma amat khawatir akan
hal itu. Karna yang mereka dengar, tujuh dari sepuluh remaja tomboy seperti itu
terjebak dalam pergaulan bebas. Duh memang sangat mengkhawatirkan. Budaya barat
sudah meracuni bumi pertiwi. Tapi Rahma minta kepercayaan saja kepada orang
tuanya bahwa dia bisa menjaga diri.
Rahma sendiri tak menegrti mengapa
masyarakat sekitar bisa berpresepsi seperti itu akan wanita tomboy. Padahal
teman-teman Rahma di sekolah yang berpenampilan feminim kalau pulang sekolah,
ada juga yang ‘hobi’ nyetopin mobil lewat pinggir jalan. Terkadang kita memang
sering tertipu dengan keberadaan seseorang dari penampilan luarnya saja.
Suar mobil terdengar berhenti di
dekat Rahma. Gadis itu segera membuka garasi rumah. Mobil masuk dan parkir di
dalamnya. Dari dalam mobil keluar Mama, Anisa, Salsa dan Afrizal. Semua pasang
wajah keruh. Apalagi Anisa, matanya memerah seperti menahan tangis. Gaun pesta
masih melekat di tubuhnya. Ada apa ini? Hati Rahma bertanya-tanya.
Semua sudah masuk kedalam rumah.
Rahma meneruskan kembali pekerjaannya. Dari dalam rumah terdengar suara Mama
menasehati Anisa.
“Sudah, Nis. Kamu jangan
terus-terusan ngambek seperti itu.”
“Tapi panitia itu kurang ajar,Ma,
masak bahu Nisa di pegang-pegang,” suara Anisa yang diberengi isak tangis itu
mengagetkan Rahma. “Santi gak suka!!”
Tak terdengar jawaban Mama.
Rahma sudah selesai dengan
pekerjaannya.
“Panitia itu biasa Nis. Suka berbuat
yang nggak-nggak.”
“Tapi baru kali ini Nisa dikurang
ajari seperti itu, Ma,” isakan Anisa belum berhenti. “Ditempat-tempat lomba
sebelumnya gak kaya gitu. Nisa benar-benar gak suka!” Isakan Anisa kini pecah
menjadi tangis.
Rahma mendengar itu semua sambil lewat
saja.
“Ya sudah Nis, nangisnya berhenti.
Memangnya kita harus bagaimana?”
“Seharusnya tadi Mama marahi panitia
berengsek itu! Mama suka kalau anak Mama dipegang-pegang seperti tadi? Mama
suka?!”
“Mama nggak suka, Nis.” Suara mama
bergetar seperti menahan tangis. “Mama nggak suka dengan itu semua. Tapi Mama
bisa apa? Mama perempuan. Kemampuan Mama terbatas. Mama bisa saja tadi berbuat
sesuatu. Tapi kalau jadi ramai apa nggak kita juga yang jadi malu, kamu kan
tahu, banyak teman-teman kamu dan teman-teman Mama di tempat lomba.”
Anisa terdiam. Kata-kata Mama memang
benar. Tapi biar bagaimanapun, ia tidak suka perlakuan panitia lomba yang
berbuat kurang ajar padanya. Anisa masuk kedalam kamar. Ia benar-benar kesal,
marah, dan ... tapi dia juga perempuan, perempuan kelas tiga SMA yang mempunyai
kemampuan terbatas. Marahnya mengendap dalam hati. Hanya menangis yang dapat ia
lakukan.
Rahma yang sedari tadi menguping
pembicaraan Anisa dan Mama, jadi kesal mendengarnya. Apalagi ini menyangkut
masalah harga diri. Di keluarganya semua perempuan. Cuma Afrizal, adik
bungsunya yang laki-laki. Dan Afrizal masih terlalu kecil, ia belum mengerti
tentang ini semua. Sedangkan Papa.. ah, Papa sudah tenang di alam sana.
Penyakit darah tinggi telah mengantarkan Papa kehadirat Illahi.
Setelah kepergian Papa, Mamalah yang
harus dapat menjaga citra keluarga. Tapi sekarang, Anisa diperlakukan kurang
ajar oleh seseorang. Dan Mama tidak dapat mengatasinya. Hati Rahma tiba-tiba
berdegup kencang. Darahnya bergejolak. Ia dapat merasakan ketidak terimaan
Anisa diperlakukan sedemikian rupa. Ini benar-benar keterlaluan. Emosi Rahma
naik.
Sehabis mandi, ia hampiri Anisa yang
sedang tidur-tiduran di kamarnya. Ia minta di antar Anisa untuk kembali ke
tempat lomba. Rahma ingin membuat perhitungan kepada panitia yang sudah berbuat
kurang ajar kepada kakaknya. Anisa yang benar-benar kesal menurut saja.
“Kalian mau kemana?” tanya Mama
waktu melihat ke dua putrinya masuk ke dalam mobil.
“Mau ke rumah teman, Ma.” Jawab
Rahma sekenanya.
Biarlah, kali ini Mama tak perlu tahu.
2 komentar:
harus ngasih komentar apa nih, *bingung,
Cerpenya bagus, lanjutkan...
Salam Kenal,
Mampir ke Blogku ya
Thanks..
Segera meluncur..
Posting Komentar