10 Mei 2013

Mama Tak Perlu Tahu


            Sore itu sepulang sekolah Rahma langsung bergegas pergi ke gudang. Mengambil sekaleng cat dan kuas, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Ia masih mengenakan baju olahraga, jilbabnya yang agak berantakan dibiarkan melambai-lamabai dimainkan angin nakal. Siapapun yang melihatnya akan bergumam dalam hati, “Gadis tomboy.”
            Ia berdiri bertolak pinggang di depan pagar tembok depan rumahnya. Tutup ember cat sudah dibuka, tak lama ia memulai pekerjaannya. Tembok pagar depan rumahnya yang sudah kusam itu ia cat perlahan-lahan. Tembok itu kusam bukan saja karna debu tapi juga karna ada beberapa grafitian disana.
            Entah sudah berapa kali tembok itu di cat. Dan kalau tembok itu kembali bersih, grafitian itu pun akan dengan cepat kembali hinggap di pagarnya itu. Rahma amat kesal dibuatnya.
            Baru setengah pekerjaan selesai, ia memutuskan untuk istirahat. Meneguk minuman dingin yang dibawanya tadi sambil memperhatikan tembok yang sudah di cat.
Lagaknya seperti seniman besar saja yang begitu larut dalam pekerjaan, sampai-sampai dia tidak menyadari kalau ada seorang lelaki yang sedari tadi memperhatikannya.

            “Lagi ngapain, Ma?” pertanyaan basa-basi itu mengagetkan Rahma. Gadis kelas satu SMU itu menoleh kebelakang.


            “Eh, Ipan. Ngagetin aja,” Rahma tersenyum kepada cowok yang kini ada dihadapannya itu. “Ini lagi ngecat pagar, ngbersihin grafitian. Padahal baru saja dua bulan lalu di bersihin, eh ada lagi ada lagi.
            Ipan tersenyum, “Rajin amat,” katanya. “Sekaarang dibersihin paling besok udah ada lagi tuh grafitian.”
            Rahma Cuma mendengarkan kata-kata Ipan, meskipun hatinya membenarkan. Susah memang. Remaja sekarang berkreasinya suka salah kaprah. Ini akibat kemajuan zaman atau tren trennya orang luar yang sering kita tiru tanpa menyaringnya terlebih dahaulu? Entahlah. Yang jelas grafitian bagi remaja sudah membudaya. Acara lulusan sekolahpun sepertinya tidak berkesan tanpa acara grafitian.
            “Aku punya usul nih, Ma,” kata Ipan sambil memperhatikan separuh pagar yang sudah di cat Rahma. “Bagaimana kalau sehabis kamu mengecat tembok pagar rumah kamu ini, kamu undang beberapa remaja yang suka grafitian, lalu kamu suruh remaja-remaja itu bikin grafitian di tembok pagar rumah kamu ini. Dengan syarat , grafitiannya harus rapih dan punya nilai seni. Aku jamin, tembok pagar rumah kamu ini pasti bakalan lebih keren daripada rumah-rumah yang ada di komplek ini.”
            “Ide gile,” sambut Rahma. “Tapi boleh juga sih,” lanjutnya sambil garuk-garuk kepala. “Tapi bagaimana kalau untuk percobaan dimulai dari rumahmu.” Lanjut Rahma terkekeh.
            Ipan cuma nyengir kuda. Tapi hatinya tertawa. “Nanti deh, aku tanya nyokap dulu.” Katanya setelah itu.
            Rahma Cuma senyum-senyum. Gadis itu lalu meneruskan pekerjaannya. Bagai pelukis sedang menggarap lukisannya, bagai pengarang yang sedang merangkai kata-kata. Gadis itu begitu menikmati pekerjaaanya.
            Ipan yang memperhatikan Rahma bekerja, cuma geleng-geleng kepala. Ada rasa kagum di dalam hatinya melihat semangat gadis itu. Setelah lama juga memperhatikan Rahma bekerja, Ipan mohon pamit dan berlalu. Paling juga dia mau main kerumah temannya, atau jalan-jalan ke mall.
            Rahma tidak peduli dengan hal yang begituan. Meskipun itu kebanyakan aktivitas remaja seusianya. Jalan-jalan di mall bagi Rahma hanya mebuang-buang waktu saja. Lebih baik mengerjakan hal lain yang berarti,pikirnya. Tadi pagi pun, Mamanya mengajak Rahma ke sogo untuk melihat Anisa, kakaknya, lomba fashion. Tapi Rahma menolak. Ia lebih memilih di rumah. Mengecat tembok pagar depan yang sudah kusam lagi karna debu dan grafitian.
            Maksud Mamanya mengajak Rahma melihat lomba fashion, untuk mengajari Rahma secara tidak langsung, bahwa wanita itu harus feminim. Karna meskipun Rahma berjilbab, tapi tomboynya seperti sudah bawaan. Dan ia tidak suka dengan acara-acara seperti itu. Ia menempa keberadaanya apa adanya. Yang penting tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.
            Waktu masih sekolah dasar, kedua orang tuanya Rahma begitu khawatir dengan pertumbuhan Rahma. Karna gadis itu tidak menyukai permainan cewek atau hal-hal lainnya yang seharusnya dikerjakan para perempuan. Ia cenderung kelaki-lakian, maka, didaftarkanlah ia ke sebuah sanggar seni tari. Saat mendaftar sih memang ke sanggar seni, tapi tiga bulan kemudian, ketika akan ujian, betapa kagetnya kedua orang tua Rahma kalau ternyata Rahma bukan hendak ujian seni tari, melainkan ujian karate!
            Orang tuanya cuma geleng-geleng kepala. Akhirnya Rahma dibiarkan saja. Ia aktif di pramuka dan paskibra. Menginjak masa SMU ini hobinya camping, naik gunung dan panjat tebing. Anisa, kakaknya, pernah bertanya tentang hal itu semua.
            “Apa sih enaknya camping, naik gunung atau panjat tebing,Ma?”
            Mendengar pertanyaan kakaknya, Rahma Cuma tersenyum. “Yah seperti kamu menggeluti dunia fashion. Apa enaknya sih berlenggak-lenggok di atas papan catwalk?” begitu jawab Rahma.
            Di kik balik begitu, Anisa tidak bisa menjawab apa-apa. Setiap orang memang punya hobbi dan dunianya masing-masing, pikir Anisa.
            Bila melihat remaja-remaja tomboy seperti Rahma, sebagian besar orang-orang pasti befikiran negatif. Karna kebanyakan remaja seperti Rahma terlihat cuek, sehingga orang berfikir remaja seperti itu pasti tidak benar pergaulannya. Orang tua Rahma amat khawatir akan hal itu. Karna yang mereka dengar, tujuh dari sepuluh remaja tomboy seperti itu terjebak dalam pergaulan bebas. Duh memang sangat mengkhawatirkan. Budaya barat sudah meracuni bumi pertiwi. Tapi Rahma minta kepercayaan saja kepada orang tuanya bahwa dia bisa menjaga diri.
            Rahma sendiri tak menegrti mengapa masyarakat sekitar bisa berpresepsi seperti itu akan wanita tomboy. Padahal teman-teman Rahma di sekolah yang berpenampilan feminim kalau pulang sekolah, ada juga yang ‘hobi’ nyetopin mobil lewat pinggir jalan. Terkadang kita memang sering tertipu dengan keberadaan seseorang dari penampilan luarnya saja.
            Suar mobil terdengar berhenti di dekat Rahma. Gadis itu segera membuka garasi rumah. Mobil masuk dan parkir di dalamnya. Dari dalam mobil keluar Mama, Anisa, Salsa dan Afrizal. Semua pasang wajah keruh. Apalagi Anisa, matanya memerah seperti menahan tangis. Gaun pesta masih melekat di tubuhnya. Ada apa ini? Hati Rahma bertanya-tanya.
            Semua sudah masuk kedalam rumah. Rahma meneruskan kembali pekerjaannya. Dari dalam rumah terdengar suara Mama menasehati Anisa.
            “Sudah, Nis. Kamu jangan terus-terusan ngambek seperti itu.”
            “Tapi panitia itu kurang ajar,Ma, masak bahu Nisa di pegang-pegang,” suara Anisa yang diberengi isak tangis itu mengagetkan Rahma. “Santi gak suka!!”
            Tak terdengar jawaban Mama.
            Rahma sudah selesai dengan pekerjaannya.
            “Panitia itu biasa Nis. Suka berbuat yang nggak-nggak.”
            “Tapi baru kali ini Nisa dikurang ajari seperti itu, Ma,” isakan Anisa belum berhenti. “Ditempat-tempat lomba sebelumnya gak kaya gitu. Nisa benar-benar gak suka!” Isakan Anisa kini pecah menjadi tangis.
            Rahma mendengar itu semua sambil lewat saja.
            “Ya sudah Nis, nangisnya berhenti. Memangnya kita harus bagaimana?”
            “Seharusnya tadi Mama marahi panitia berengsek itu! Mama suka kalau anak Mama dipegang-pegang seperti tadi? Mama suka?!”
            “Mama nggak suka, Nis.” Suara mama bergetar seperti menahan tangis. “Mama nggak suka dengan itu semua. Tapi Mama bisa apa? Mama perempuan. Kemampuan Mama terbatas. Mama bisa saja tadi berbuat sesuatu. Tapi kalau jadi ramai apa nggak kita juga yang jadi malu, kamu kan tahu, banyak teman-teman kamu dan teman-teman Mama di tempat lomba.”
            Anisa terdiam. Kata-kata Mama memang benar. Tapi biar bagaimanapun, ia tidak suka perlakuan panitia lomba yang berbuat kurang ajar padanya. Anisa masuk kedalam kamar. Ia benar-benar kesal, marah, dan ... tapi dia juga perempuan, perempuan kelas tiga SMA yang mempunyai kemampuan terbatas. Marahnya mengendap dalam hati. Hanya menangis yang dapat ia lakukan.
            Rahma yang sedari tadi menguping pembicaraan Anisa dan Mama, jadi kesal mendengarnya. Apalagi ini menyangkut masalah harga diri. Di keluarganya semua perempuan. Cuma Afrizal, adik bungsunya yang laki-laki. Dan Afrizal masih terlalu kecil, ia belum mengerti tentang ini semua. Sedangkan Papa.. ah, Papa sudah tenang di alam sana. Penyakit darah tinggi telah mengantarkan Papa kehadirat Illahi.
            Setelah kepergian Papa, Mamalah yang harus dapat menjaga citra keluarga. Tapi sekarang, Anisa diperlakukan kurang ajar oleh seseorang. Dan Mama tidak dapat mengatasinya. Hati Rahma tiba-tiba berdegup kencang. Darahnya bergejolak. Ia dapat merasakan ketidak terimaan Anisa diperlakukan sedemikian rupa. Ini benar-benar keterlaluan. Emosi Rahma naik.
            Sehabis mandi, ia hampiri Anisa yang sedang tidur-tiduran di kamarnya. Ia minta di antar Anisa untuk kembali ke tempat lomba. Rahma ingin membuat perhitungan kepada panitia yang sudah berbuat kurang ajar kepada kakaknya. Anisa yang benar-benar kesal menurut saja.
            “Kalian mau kemana?” tanya Mama waktu melihat ke dua putrinya masuk ke dalam mobil.
            “Mau ke rumah teman, Ma.” Jawab Rahma sekenanya.
            Biarlah, kali ini Mama tak perlu tahu.

2 komentar:

Zaenuri Achmad mengatakan...

harus ngasih komentar apa nih, *bingung,
Cerpenya bagus, lanjutkan...

Salam Kenal,
Mampir ke Blogku ya

Rusyda Andini mengatakan...

Thanks..
Segera meluncur..

Posting Komentar