20 Juni 2013

Pohon setan, katanya..


            “Pak..! Bimo Pak..! Bimo pingsan di bawah pohon itu!!!” Ega teriak-teriak histeris sambil berlari mendekati rumah Bimo.
            Pak Agil terhenyak kaget, ia tak menjawab apa-apa hanya saja langsung bangkit dan berjalan ke arah pohon itu. Ega yang menyaksikan kejadian tadi masih shock, ia terduduk lemas di kursi teras depan rumah Bimo.
            “Ada apa Ga???” Ibu Bimo keluar dari dalam rumah dengan muka panik.
            “Anu Bu, Bimo, Bimo pingsan di bawah pohon itu.” Nafas Ega masih tersengal.
            “Apa?! Antar Ibu ke sana Ga,” pinta Bu Bimo, ada gurat khawatir di raut wajahnya.
            Ega berjalan di depan Bu Bimo, langkahnya cepat. Pikirannya tak karuan. Ia melihat arloji yang ada di tangan kirinya. Jam 21.05.
            “Ibu kan udah sering bilang ke kalian, kalau malam hari gak boleh berdiam diri di bawah pohon, bisa-bisa kalian di bius setan yang ada di pohon itu. Kejadian kan sekarang,” jeals Ibu Bimo mengingatkan kembali.
            Ya, walaupun daerah ini merupakan perkotaan di bagian selatan Bandung, tapi masyarakat disini masih percaya dengan hal-hal berbau mitos. Salah satu mitos yang kuat beredar di sini adalah tentang pohon itu. Bukan hanya Ibu Bimo, Ibu Ega pun sering bilang, “Kalau malam hari jangan berdiri di bawah pohon. Nanti pingsan di bius oleh setan yang ada di pohon itu.”
            Sesampainya disana, tampak Pak Agil telah menggontong Bimo yang masih tak sadarkan diri. Aku dan Ibu Bimo berbalik arah, berjalan di belakang Pak Agil menuju rumah.
***
            Hari itu merupakan hari terakhir latihan sebelum acara dimulai. Bimo dan Ega sebagai senior di SMA itu, juga penanggung  jawab acara pentas seni sekolah meminta kepada semua teman-temannya untuk serius berlatih dan meluangkan waktunya lebih lama dari latihan dihari-hari biasanya. Canda tawa mewarnai jalannya latihan, sampai tak terasa waktu sudah malam.
            “Oke, berasa  udah jam 8 malam.  Semuanya udah bagus kok. Sekarang teman-teman boleh pulang. Semuanya jaga kesehatan ya.” Ucap Bimo menyemangati teman-temannya.
            Latihan selesai dan teman-teman mereka mulai pulang satu persatu, namun  Bimo dan Ega masih berkutat di tempat latihan. Mereka masih harus menyelesaikan beberapa hal untuk pentas besok.
            “Bim, kamu bawa sepeda kan?” tanya Ega disela-sela merapikan panggung.
            “Iya, kenapa?” tanya Bimo.
            “Baguslah, soalnya aku gak bawa sepeda. Entar aku nebeng ya,” pinta Ega.
            “Sip..!” jawab Bimo singkat.
            Tak ada suara lagi setelah percakapan itu. Mereka larut dalam pekerjaannya masing-masing.

            “Gimana Bim?” tanya Ega dari atas panggung.
            Bimo mengacungkan dua jempolnya sambil tersenyum. Di dalam hatinya optimis bahwa pentas seni kali ini akan lebih sukses dari tahun kemarin.
            Setelah dirasa semuanya beres, mereka memutuskan untuk pulang. Malam itu Ega dibonceng oleh Bimo. Jalan menuju rumah mereka memang selalu ramai, hal itu yang membuat mereka tak pernah takut kalaupun harus berjalan berdua menelusuri jalan di malam hari. Tapi kemudian sepeda terhenti, Bimo teringat sesuatu.
             “Ga, kita mau jalan mana nih?” tanya Bimo.
            “Jalan Sudirman aja, lebih deket.” Jawab Ega.
            “Yakin? Gak mau jalan raya aja yang ramai? lagian jalan Sudirman gelap gak ada penerang  jalannya?” Bimo ragu.
            “Iya sih, tapi kita bisa menyingkat waktu 15 menit kalau jalan Sudirman. Lagian aku udah laper banget.” Ega masih pada pilihannya.
            “Baiklah, aku juga udah lapar.” ujar Bimo akhirnya.
            Merekapun sepakat untuk melewati jalan Sudirman, walaupun di jalan itu gelap dan sepi tapi jaraknya lebih dekat dibanding harus lewat jalan raya. Rasa lapar dan haus yang melanda membuat Bimo mengayuh pedal sepedanya dengan cepat. Sampai akhirnya Bimo merasa ada yang aneh dengan sepedanya. Rantainya copot.
            “Duh! Rantainya pake copot segala lagi.” Ujar Bimo, nadanya sedikit tinggi.
            Mereka berhenti tepat di bawah pohon beringin besar. Dengan nafas yang tersengal-sengal Bimo mencoba membenarkan rantai sepedanya yang copot.
            “Ga, coba sama kamu. Aku mau atur nafas dulu” pinta Bimo pada Ega.
            Ega mengambil alih sepeda itu dari tangan Bimo. Bimo mencoba mengatur nafasnya yang tersengal karna terlalu bersemangat mengayuh sepeda tadi. Ia menyandarkan tubuhnya pada pohon beringin yang besar  itu.
            “Rantainya kelonggaran nih Bim, makanya lepas gini.” Kata Ega tanpa memandang ke arah Bimo. Ega masih mencoba membenarkannya.
            “Bim, coba kasih cahaya pake ponsel kamu.” Ujar Ega, masih tanpa melihat ke arah Bimo.
            Ega mulai merasa janggal. Bimo yang sedari tadi diajak bicara tak ada menyahut sekalipun. Ia meletakan sepeda itu lalu menengok ke arah Bimo. Betapa kagetnya Ega, saat melihat Bimo yang sudah tergeletak lemah di bawah pohon itu.
            “Bim, Bimo..!!!” Ega menggerak-gerakkan tubuh Bimo. Namun Bimo masih terdiam. Ega panik, ia memutuskan untuk berlari meninggalkan Bimo, meminta bantuan pada keluarga Bimo yang rumahnya masih sekitar 100 m dari pohon itu.         
***
            Bimo tersadar. Pandangannya masih kabur. Ayah dan Ibu ada di hadapannya.
            “Kamu udah sadar Bim,” ujar Ibu pelan.
            Saat itu Ega datang dari arah pintu bersama Pak Jono, guru kesenian mereka yang juga Ketua pelaksana Pentas Seni. Pak Jono khawatir saat mendengar kabar bahwa Bimo pingsan.
            “Kejadiannya bagaimana Ga, kok Bimo sampai bisa pingsan begini?” tanya Pak Jono.
            “Ini ada hubungannya dengan pohon di jalan Sudirman sana Pak, saya udah sering nasehatin mereka jangan berdiam diri di bawah pohon itu kalau malam hari. Bisa-bisa pingsan di bius setan. Tapi tadi mereka berhenti disitu karna rantai sepedanya lepas,” jelas pak Agil.
            “Tunggu-tunggu, dibius setan?” tanya Pak Jono aneh.
            “Iya Pak, kata masyarakat sini, kalau malam hari berdiam diri di bawah pohon itu bisa-bisa pingsan karna dibius setan.” Jelas pak Agil lagi.
            Pak Jono tersenyum, “Maaf ya Pak,Bu, kejadian pingsan di bawah pohon saat malam hari itu sama sekali gak ada hubungannya dengan dibius setan. Pada malam hari tumbuhan membutuhkan oksigen untuk bernafas, sama seperti manusia, makanya proses pernafasan manusia sering kali terganggu kalau berada di bawah pohon pada malam hari. Apalagi kondisi Bimo tadi sedanag kelelahan, iya Ga?” Pak Jono menengok ke arah Ega.
            “Iya Pak, tadi Bimo kecapean karna mengayuh sepeda.” Jawab Ega.

            Pak Agil mengangguk mendengar penjelasan Pak Jono, jelas sudah tentang mitos itu. Ia lega karna ternyata Bimo hanya kelelahan dan tidak sampai berhubungan dengan makhluk halus di pohon itu. Pak Jono izin pulang setelah dapat memastikan bahwa Bimo baik-baik saja. Begitu juga dengan Ega. Malam ini Ega dan Bimo harus istirahat dan menjaga kondisi tubuhnya untuk pentas seni besok.

1 komentar:

Evi Sri Rezeki mengatakan...

Bimo lagi kelelahan. Kalau malam-malam dekat pohon, oksigennya jadi rebutan. Pantes aja pingsan.

Ini kenapa komennya jadi kayak pelajaran Biologi, ya? Hehehe....

Posting Komentar